Kenapa orang korea tinggi tinggi

Ini Dia Alasan Orang Korea Ingin Memiliki Tubuh Semampai

TRIBUNJOGJA.COM – Jika Anda adalah seorang penggemar K-Pop, pasti mengenal Lee Kwang Soo, selebriti yang cukup terkenal dari Korea Selatan.

Kerap dijuluki sebagai Prince Asia, Kwang Soo memiliki tinggi badan sekitar 190 cm atau 1,9 meter. Tentu, tingginya yang mencapai dua meter itu membuat banyak orang Korea berlomba-lomba untuk memiliki badan yang semampai.

Running Man Versi Indonesia Siap Dirilis Pertengahan Tahun 2020 MendatangRunning Man Versi Indonesia Siap Dirilis Pertengahan Tahun 2020 Mendatang (sbs)

Dilansir dari situs Korea Herald, banyak anak muda Korea yang menargetkan harus memiliki tinggi setidaknya 1,7 meter atau 170 cm. Sebab, menurut mereka, tubuh tinggi akan menunjang penampilan.

“Saya seorang gadis berusia 12 tahun dan tinggi 158 sentimeter. Semua teman baik saya setidaknya memiliki tinggi 160 sentimeter. Tujuan saya adalah akhirnya mencapai 180 sentimeter. Mohon saran bagaimana saya bisa tumbuh lebih tinggi,” ujar penulis anonim dari unggahan di portal web Naver yang berbicara di hadapan member forum.

• Drakor hingga K-Pop Diprediksi Mampu Topang Ekonomi Korea Selatan di Masa Mendatang

Ketinggian rata-rata orang Korea adalah 170 sentimeter untuk pria dan 157 sentimeter untuk wanita pada 2017, menurut laporan badan statistik nasional Januari 2019.

Ini Dia Alasan Orang Korea Ingin Memiliki Tubuh SemampaiIni Dia Alasan Orang Korea Ingin Memiliki Tubuh Semampai (thejournal)

Berdasarkan kelompok usia, angka tersebut sedikit lebih tinggi di antara mereka yang berusia 20-an dan 30-an, rata-rata 173 sentimeter untuk pria dan 161 sentimeter untuk wanita.

Penulis anonim jauh di atas tinggi rata-rata perempuan pada usia 12 dan memiliki potensi untuk tumbuh lebih tinggi sebelum piring pertumbuhannya mendekati usia 13 dan 17.

• Sederet Bintang K-Pop Selesai Wajib Militer (Wamil) 2020, Ada Personel SHINee dan 2PM

Obsesi orang Korea memiliki tubuh tinggi menjadi sorotan pada tahun 2009.

Saat itu, seorang mahasiswa perempuan mengomentari program ‘Global Talk Show’ bahwa siapa pun yang lebih pendek dari 180 sentimeter adalah ‘pecundang’. 

Pernyataannya disambut dengan protes mengejutkan dari pria, yang kemudian berubah menjadi lelucon mencela diri sendiri di antara mereka yang berada di bawah 180 sentimeter.

• 14 Potret Kelam Industri K-Pop Korea Tahun 2019, Mulai Skandal hingga Tragedi Bunuh Diri

Sejak saat itu, obsesi dan diskriminasi sosial yang terkait dengan ketinggian merajalela di mana-mana, tidak hanya di Korea. 

Obsesi tersebut terus diperdebatkan. Berlawanan dengan kepercayaan umum, menjadi tinggi lebih terkait dengan gen dan nutrisi daripada ras. 

Para ahli kesehatan merujuk  pada peningkatan tinggi rata-rata di negara-negara berkembang di Asia dan tinggi rata-rata yang relatif tidak berubah di negara-negara barat seperti AS.

Dengan tinggi dianggap sebagai keuntungan sosial, orang tua sering berharap anak-anak mereka akan tumbuh lebih tinggi daripada teman sebaya mereka.

• Cerita Kelam di Balik Gemerlapnya Dunia K-Pop : Dijerat Kontrak Hingga Dipaksa Operasi Plastik

Rata-rata tinggi badan penduduk Korea Selatan meningkat secara pesat. Hal ini berkebalikan dengan tinggi rata-rata penduduk Indonesia yang justru cenderung stagnan. Apa faktor penyebabnya?

Tinggi Orang Korea Selatan Meningkat Pesat, Mengapa Indonesia Tidak?

Petugas PKK Desa Karangrau, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, mengukur tinggi badan anak balita, Selasa (16/2/2021).

WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO

Petugas PKK Desa Karangrau, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, mengukur tinggi badan anak balita, Selasa (16/2/2021).

Selama satu abad sejak 1896 sampai 1996, pertumbuhan tinggi badan pada penduduk Korea Selatan merupakan yang paling pesat di dunia. Bahkan, hal itu menjadikan Korea Selatan sebagai bangsa yang paling tinggi di Asia.

Pesatnya peningkatan tinggi badan penduduk Korea Selatan berkisar 15-20 sentimeter yang disampaikan dokter spesialis ortopedi, Asa Ibrahim, dalam utasannya di Twitter ini menjadi perbincangan warganet.

HARIAN MASSA – Memiliki tubuh tinggi merupakan impian banyak orang. Di luar faktor genetik, ternyata tinggi tubuh bisa diprogram. 

Seperti diungkapkan Twitter dr.Asa ibrahim Sp.OT @asaibrahim. 

Dia mencontohkan, bawah dalam 100 tahun terakhir, tinggi rata-rata orang Korea Selatan (Korsel) naik 15-20 cm. 

Baca juga: Netizen Ungkap Kekayaan Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo, Naik Rp1,1 Miliar Pertahun

“Kamu tau ga, dalam 100 tahun terakhir, rata-rata tinggi badan orang Korsel itu naik 15-20 cm,” katanya, dikutip Rabu (18/1/2023). 

Dengan begitu, maka orang-orang Korsel jauh lebih tinggi dibanding dengan orang tua atau kakek dan neneknya. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang Korsel mengalami kenaikan tinggi badan, yakni perbaikan nutrisi dan stimulasi.

Baca juga: Hasil Penelitian Ungkap Tanaman Bertasbih, Tumbuh Lebih Cepat dengan Ayat Suci Alquran

“Jadi, tinggi badan itu pengaruh dari karakter genetik plus nutrisi dan aktivitas fisik sejak balita,” sambungnya. 

[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 9, Juni 2022]

oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB BRIN)

Pada April 2022, Netflix mengeluarkan drama Korea (drakor) terbaru berjudul Green Mother’s Club. Drakor ini berkisah tentang para ibu muda yang berambisi dalam meningkatkan kemampuan akademis anak-anaknya. Yang menarik, anak-anak tersebut masih berada di bangku sekolah dasar. Namun, mereka sudah mengalami sistem pendidikan Korea yang sangat kompetitif.

Meskipun masih berusia muda, para siswa sekolah dasar digambarkan aktif mengikuti berbagai kursus dan kompetisi tingkat nasional. Mereka bahkan berlomba untuk diterima di sekolah khusus anak berbakat meskipun dengan seleksi masuk yang ketat. Berbagai intrik terjadi tidak hanya antara para ibu, namun juga anak-anak. Persaingan, ambisi, hingga gangguan psikologis turut mewarnai dalam perjalanan untuk menjadi nomor satu.

Fokus cerita dalam Green Mother’s Club serupa dengan drakor Sky Castle yang rilis pada tahun 2018. Dalam Sky Castle, para orangtua dari keluarga elit berambisi untuk menjaga kesuksesan keluarga dengan membuat anak-anak diterima di Fakultas Kedokteran Seoul National University (SNU). Berbagai cara dilakukan mulai dari memasukkan sang anak ke sekolah elit hingga merekrut mentor yang memiliki tingkat keberhasilan seratus persen.

Drakor satir ini merupakan gambaran umum keluarga Korea dalam upaya meningkatkan kesuksesan anak dan keluarga. Tak heran, Sky Castle menjadi drakor rating tertinggi kedua di Korea setelah The World of the Married (2020). Drakor ini juga menoreh banyak penghargaan seperti sutradara terbaik, artis terbaik, aktor pendukung terbaik, dan nominasi drama terbaik di penghargaan bergengsi Baeksang Art Award ke 55.

Obsesi terhadap Pendidikan Tinggi

Korea disebut-sebut sebagai negara dengan persaingan pendidikan tersengit di dunia. Dilansir dari YouTube Korean Unnie[1], proses pendidikan anak dimulai sejak usia empat tahun. Tidak hanya bersekolah di taman kanak-kanak, banyak anak yang sudah diikutkan berbagai les seperti bahasa Inggris. Selain menunjang masa depan, bahasa Inggris dianggap sebagai penanda kelas menengah atas yang berpendidikan tinggi dan elit.

Saat menjalani pendidikan formal di sekolah dasar dan menengah, sebagian besar siswa akan mengikuti kursus tambahan di bimbingan belajar atau hagwon 학원 hingga tengah malam. Semua itu dilakukan demi berhasil di ujian masuk universitas atau suneung 수능. Suneung dianggap sebagai ujian terpenting bagi siswa Korea karena dari situlah ditentukan universitas mana yang dapat mereka masuki.

Suneung diselenggarakan secara maraton selama delapan jam setiap bulan November. Ada lima subjek yang diuji yaitu bahasa Korea, Matematika, bahasa Inggris, Sejarah Korea, dan ilmu alam/sosial/vokasi. Selain lima subjek, ada juga peserta ujian yang memiliki ujian tambahan bahasa asing kedua seperti bahasa Mandarin, Jepang, Prancis, dan Arab.

Saking krusialnya, pemerintah Korea sampai menambah moda transportasi umum, melakukan rekayasa lalu lintas, menghentikan pekerjaan konstruksi, dan mengatur jadwal penerbangan agar tidak terbang di atas sekolah (Annique, 2021). Kantor-kantor bahkan memundurkan jam masuk kerja untuk memastikan para siswa tidak terjebak macet dan terlambat ikut ujian.

Eforia suneung juga sempat ditampilkan dalam drakor Twenty Five Twenty One (2022) saat Na Hee Do dan Moon Jin Woong akan mengikuti ujian masuk universitas. Dalam adegan tersebut, terlihat teman dan keluarga menyemangati peserta ujian dengan membentangkan spanduk, memberikan minuman, dan hadiah penyemangat.

Bagi siswa yang memiliki skor tinggi di suneung, mereka akan berkesempatan kesempatan besar untuk diterima di universitas bergengsi Korea yaitu Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Ketiga universitas ini dikenal dengan akronim SKY.

Berhasil lulus dari universitas prestisius menjadi penanda status sosial di Korea. Orang-orang yang lulus dari SKY akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan besar seperti Samsung, Hyundai, dan LG. Pentingnya nama sebuah almamater ditunjukkan dengan apik dalam film Korea pemenang Oscar berjudul Parasite (2019). Dalam adegan, Kim Ki Jung mengaku sebagai lulusan Yonsei University agar mendapatkan pekerjaan sebagai tutor seni dari keluarga Park yang kaya raya. Berbekal ijazah palsu, Ki Jung berhasil menipu keluarga Park tanpa perlu pengecekan latar belakang.

Krusialnya latar belakang pendidikan pun dinarasikan dalam Green Mother’s Club episode 10, ketika Kim Ju Seok menasehati anak-anaknya dengan berkata “Kalian harus bekerja keras jika tidak ingin diperlakukan seperti orang bodoh. Hal terpenting bagi orang Korea adalah latar belakang pendidikan. Mengerti?” Kompetisi ketat inilah yang membuat semua orang bekerja keras agar tidak tertinggal.

Ironi Sistem Pendidikan

Kelsey, seorang YouTuber dan mahasiswa Yonsei University, membagikan pengalamannya[2] saat belajar di sekolah menengah dan mempersiapkan suneung. Ia akan melakukan belajar mandiri di sekolah pada jam 7-9 pagi. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran sekolah akan berlangsung dari jam 9 hingga 5.30 sore. Setelah makan malam dan istirahat, belajar mandiri akan kembali dilakukan pada jam 7-11 malam di sekolah. Hal ini lah yang membuat rata-rata siswa di Korea kekurangan jam tidur (Yonhap News, 2020).

Selain bidang akademik, siswa di Korea juga aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler untuk meningkatkan resumenya, seperti klub Matematika dan debat. Melalui kegiatan itu, mereka juga berupaya memenangkan kompetisi bergengsi berskala nasional dan internasional.

Sistem pendidikan di Korea memang menghasilkan siswa yang pintar dan bekerja keras. Namun, tekanan yang dialami sejak usia muda pada akhirnya menimbulkan masalah sosial baru. Imbasnya, tingkat bunuh diri anak dan remaja di Korea adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) (Hong, Cho, Kim, Ju, & Kweon, 2017).

Selain anak, orangtua pun merasakan beban yang berat. Sebab, untuk memberikan kualitas pendidikan yang baik, orangtua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Untuk biaya bimbingan belajar akademik misalnya, jumlah yang harus dikeluarkan mencapai 3-5juta rupiah per bulan. Biaya akan meningkat jika anak perlu dimasukkan ke bimbingan belajar lain untuk pengembangan musik dan seni.

Drakor Green Mother’s Club pun turut menyoroti masalah tersebut dengan menampilkan upaya para orangtua dalam memenuhi biaya bimbingan belajar yang mencekik. Mulai dari melakukan kerja paruh waktu, mengurangi jatah makan, sampai menjual obat terlarang.

Ironi lain pun masih menyelimuti para pelajar di Korea. Meskipun telah berhasil memasuki universitas top di Korea, namun mereka masih dibayangi keresahan terhadap masa depan. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Asian Boss[3] terhadap para mahasiswa SNU, hampir semua berpendapat bahwa asal universitas tidak menjamin akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Apalagi saat ini kondisi ekonomi sedang menurun karena pengaruh COVID-19.

Menemukan Kebahagiaan

Proses belajar kompetitif yang dilakukan sejak usia muda tentu hanya memberikan sedikit porsi waktu bermain untuk siswa. Kurangnya kegiatan relaksasi akan berpengaruh pada kebahagian siswa. Menurut survei indeks kebahagiaan OECD pada tahun 2018 (Chung & Nam, 2019), siswa Korea memang menempati performa akademik tertinggi, namun memiliki tingkat kebahagiaan terendah di dunia.

Dalam riset tingkat kebahagiaan siswa (Jang & Park, 2021) pada tahun 2019, skor kebahagiaan orang Korea di usia 20-an hanya berada di angka 52.64 dari 100 poin. Skor kebahagiaan kelompok usia 30-an tahun bahkan lebih rendah dan berada di angka 55.23 poin. Rendahnya tingkat kebahagiaan tersebut disebabkan oleh tekanan dan stress dari masyarakat yang kompetitif, lingkungan pendidikan, dan masalah akademik.

Sistem pendidikan Korea yang diangkat dalam drakor seperti Sky Castle dan Green Mother’s Club menjadi pembuka mata bagi penonton internasional, termasuk Indonesia. Melalui fenomena sosial yang diangkat oleh drakor tersebut, kita dapat belajar untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang menyenangkan bagi siswa.

Mengikuti kegiatan olahraga pun dapat meningkatkan kebahagiaan siswa. Menurut riset (Song, Song, & Lee, 2021), ditemukan ada hubungan signifikan antara mengikuti kegiatan olahraga dengan peningkatan harga diri positif, resiliensi, dan kebahagiaan di sekolah. Selain itu, sekolah dapat menyeimbangkan antara pelajaran akademik dan nonakademik. Misalnya, mengurangi jam belajar, melatih keterampilan hidup, fokus pada pengembangan bakat, dan menyediakan lingkungan sekolah yang asri. (Editor: Dicky Rachmawan)

Referensi

Annique. (2021). 수능 – The Number 1 Most Di2cult Exam of the Year Has Arrived. Retrieved May 27, 2022, from 16 Nov 2021 website: https://www.kworldnow.com/수능-suneung-the-exam-of-the-year-for-koreans/

Chung, E., & Nam, Y.-S. (2019). Students here among the smartest , but saddest. Retrieved May 24, 2022, from https://koreajoongangdaily.joins.com/2019/12/03/socialAffairs/Students-here-among-the-smartest-but-saddest/3071032.html

Hong, M., Cho, H. N., Kim, A. R., Ju, H. H., & Kweon, Y.-S. (2017). Suicidal deaths in elementary school students in Korea. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 11(1). Retrieved from http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export&id=L618500012%0Ahttp://dx.doi.org/10.1186/s13034-017-0190-3

Jang, H., & Park, H. (2021). 덕질활동 여부에 따른 대학생의 행복감 비교 연구 A Comparative Study on Happiness between Otaku and Non-Otaku College Students. 34(2), 98–106. Retrieved from http://koreascience.or.kr/article/JAKO202126048535435.pdf

Song, H., Song, J., & Lee, S. (2021). Effects of Self-Esteem on Resilience and School Happiness of Korean Students Participating in School Sports Clubs. 34(3), 88–99. Retrieved from https://journaleet.in/articles/effects-of-self-esteem-on-resilience-and-school-happiness-of-korean-students-participating-in-school-sports-clubs

Yonhap News. (2020). S. Korean teens suffer from lack of sleep, survey finds. Retrieved May 27, 2022, from 3 August 2020 website: http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20200803000930

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Ranny Rastati adalah peneliti Komunikasi Media di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PMB – BRIN). Fokus kajiannya berupa budaya pop khususnya dari Korea dan Jepang. Ia dapat dihubungi melalui email [email protected]

Menyukai ini:

Suka

Memuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *